selamat datang

"THE SEASONS BLOG"

What time is it?

Mengenai Saya

Foto saya
mengenai gw, gw orangnya gak terlalu suka sama hal yang meribetkan,,,,dan sangat cuek sekali... di hidup saya yang saya paling utamakan yaitu allah swt, keluarga, musik, sekolah.. saya sangat mencintai dunia musik...sampai-sampai sangat ingin menjadi musisi yang di kenal oleh masyarakat.. saya memiliki 2 kaka, dan ke dua-duanya sudah kerja semua. dan di keluarga saya yang suka bermain musik hanya saya saja..jadi gak tau darah musik mengalir dari mana..hehe ok deh segitu aja tentang gw,,salam blogger

kumpulan foto jazz

Selasa, 06 April 2010

sekolah dijadikan politik

Sekolah Sebagai Alat Politik
Orang Miskin Dilarang Sekolah, Emoh Sekolah, dan judul buku semacamnya merukan potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan. Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah, dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai sekolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama “sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kerta keramat yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak.

Sekolah dengan desain politik seperti ini telah merebut kebebasan dan kemanusiaan.[3] Sekolah bukan lagi mengemban misi pendidikan tetapi lebih cenderung pada penyediaan lapangan kerja, perdagangan ilmu, dan praktik kapitalisme dan kolonialisme baru. Tanpa membedakan antara sekolah dan pendidikan secara global ada dua hal yang perlu direnungkan:

1. Mengapa sekolah mahal, mengapa harus membeli buku setumpuk. Apa tujuan dan bagaimana proses dan strategi pembelajarannya telah direncanakan sehingga anak paham terhadap tujuan membeli dan membaca buku-buku tersebut. Pertanyaan ini selalu saja tidak terjawab, yang membuat jiwa tertekan dan merasa harga buku yang harus mereka beli menjadi lebih mahal dan menyesakkan dada. Belum lagi kondisi pekerjaan, beban hidup, kondisi lingkungan yang rusak, informasi yang terus mengalir bahwa ada orang-orang yang memanfaatkan proyek pengadaan buku ajar dengan cara yang kurang ngajar. Apalagi dengan melihat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan bangsanya.
2. Secara institusional, sekolah kita belum mampu membuat visi dan orientasi yang berpihak kepada rakyat, akan tetapi berpihak pada kepentingan investasi modal. Di sisi lain sekolah juga belum mampu mengaplikasikan strategi pembelajaran dan pendidikan yang menyentuh wilayah “dalam” manusia agar peserta didik memiliki kompetensi unggulan sehingga ia dapat berpartisipasi untuk memajukan peradaban yang berkeadaban.

Politik Keterpaksaan Sekolah
Jika sekolah masih diposisikan sebagai alat politik, maka pendidikan politik bagi generasi muda di negeri ini akan mengalami penurununan kualitas dan bahkan lebih drastis lagi. Untuk mengatisipasi agar unsur keterpaksaan sekolah bias dinetralisasikan dari pengaruh politik jahat, maka harus ada program pembebasan rakyat dari keterpaksaan dalam menempuh pendidikan.

Kebebasan memilih pendidikan yang berkualitas tanpa dibebani biaya yang tidak terjangkau adalah salah satu solusi di samping peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas harus tersebar di seluruh sudut kehidupan bangsa sehingga muda diakses. Dengan teknologi informasi, upaya ini menjadi lebih mudah untuk direalisasikan.
Untuk memberikan alternatif solusi agar sekolah bisa murah sehingga bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat di antaranya dengan :
1. Pengalokasian dana APBN/APBD 20 persen untuk pendidikan, sehingga tidak hanya menjadi wacana atau dengan menggunakan politik anggaran.[4]
2. Memotong gaji pejabat tinggi yang dialokasikan untuk pendidikan berdasarkan komitmen yang dipaksakan pemerintah.
3. Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan-perusahaan besar.
4. Menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan.
5. Mendorong sektor usaha yang terkait dengan lembaga pendidikan untuk mengalokasikan anggaran yang bisa memanfaatkan secara maksimal oleh institusi pendidikan.
6. Melibatkan media massa terutama untuk memberi liputan yang berani dan tajam mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan.
7. Membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan krativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.
8. Mendorong manajemen lembaga pendidikan secara terbuka dengan melibatkan sejumlah wali murid dan jika perguruan tinggi adalah mahasiswa untuk mendesain kebutuhan lembaga pendidikan.
9. Mendorong kalangan parlemen untuk terlibat aktif dalam penentuan pejabat pendidikan. Pejabat pendidikan bukan urusan internal sekolah melainkan urusan publik.
10. Melakukan penarikan dana langsung ke kalangan masyarakat.

Pendidikan yang Tejangkau dan Berprestasi
Sepuluh alternatif tersebut masih perlu didiskusikan dan dilengkapi.
1. Memotong gaji memberikan kesan pemaksaan. Pemaksaan memberikan efek kurang positif dalam pendidikan. Sebagai alternatif bisa dilakukan sosialisasi zakat profesi dan zakat semua penghasilan yang diperoleh oleh pejabat dan tenaga profesional.
2. Menerapkan konsep bahwa bagi orang yang telah membayar zakat di atas bisa dimasukkan sebagai bagian dari pembayaran pajak. Dengan ikatan spiritual dimungkinkan para pengusaha lebih mudah untuk mengeluarkan dana pendidikan.
3. Melakukan kontrol secara komprehensip dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang melakukan korupsi bukan hanya atas anggaran pendidikan tetapi pada semua anggaran.
4. Memanfaatkan dan mendukung pendidikan keluarga (home schooling) dengan optimalisasi peran ibu sebagai pendidikan anak dan generasi muda.[5]
5. Membangun tradisi keilmuan/akademik di setiap lingkungan sosial dan melengkapi sarana atau media pendidikan sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
6. Optimalisasi fungsi masjid dan perpustakaan. Apabila perpustakaan belum ada bisa dimachingkan dengan masjid sekaligus upaya pelengkapan buku-buku yang dibutuihkan dan aktual bagi masyarakat.[6]
7. Membuat kelompok pemikir kependidikan di pusat dan masing-masing daerah yang bertugas memberikan masukan dan antisipasi terhadap problem-problem kependidikan. Hal ini karena problem yang akut akan membutuhkan biaya tinggi dan kemudian akan membebani masyarakat.
8. Mendorong berdirinya sentra-sentra pendidikan masyarakat seperti pesantren dan madrasah diniyah yang biasanya dikelola dengan kesadaran tinggi dan kemandirian.
9. Memilih pejabat yang berpihak dan bukan yang netral. Memilih pejabat atau pimpinan yang berkarakter memihak rakyat dan keadilan.
Terkait dengan pendanaan, selain dana dari sumber yang sudah lazim, sekolah/lembaga pendidikan dapat mengembangkan dana dari donatur (infaq-shadaqah), zakat, dan wakaf (termasuk wakaf media pembelajaran, buku perpustakaan, dan fasilitas masjid). Pendanaan model ini bisa diterapkan khususnya pada madrasah atau sekolah agama apalagi keluhan madrasah yang selama otonomi daerah diibaratkan (Kompas, 11 September 2004: 10) tak lebih dari anak tiri bagi pemerintah daerah dan tak lebih dari anak angkat bagi pemerintah pusat.

Pendidikan yang murah adalah pendidikan yang berprestasi. Prestasi ini bisa kita capai dengan kerja keras, komitmen yang tinggi, dan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah. Dukungan politik dan semakin kondusifnya peran politik masyarakat di era reformasi ini prestasi sekolah atau lemabaga pendidikan bisa lebih mudah direalisasikan.desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali dengan keluarnya Decentralisatie Wet 1903. Daerah
otonom yang berada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda disebut gewest, regentchap, dan stadsgemeente.
Berdasarkan Wet ini, daerah diberikan tunjangan tetap dari kas negara yang merupakan jumlah dana yang dipisahkan.
dari budget pemerintah bagi usaha membiayai daerah-daerah. (Kristiadi, dalam Prisma No. 12, 1985 Th XIV, hlm.35)
Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 isu
mengenai otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kecaman terhadap perwakilan lokal menjadi lebih
terdengar. UU Desentralisasi 1903 kemudian direformasi dengan Wet op de Bestuur Hervorming 1922 dengan tujuan
untuk memberikan jaminan mengenai otonomi dan partisipasi kepada penduduk pribumi dalam pelaksanaan tugas-
tugas pemerintahan seperti dimiliki penduduk Eropa. Dengan UU ini regentschap dan groepsgemeenschap merupakan
daerah otonom bercorak pedesaan, sedangkan stadsgemeente merupakan daerah otonom yang bercorak perkotaan.
Kedudukan gewest, district, dan onderdistrict sebagai daerah administratif. (Hoessein, dalam Usahawan No. 04 Th.
XXIX April 2000, hlm. 4) Berdasarkan Wet ini, di Jawa dan Madura dibentuk tiga provinsi, yaitu West Java, Midden
Java, dan Oost Java. Tiap-tiap provinsi dibagi menjadi regentschap yang otonom. Untuk daerah di luar Jawa dan
Madura dibentuk tiga gouvernement, yaitu: Sumatera, Borneo, dan Grote Oost (Timur Besar) sebagai wilayah
administratif (Guruh LS, 2000: 97)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar